Senin, 11 Juni 2012

Pesta bola di benua krisis( Euro 2012)

WARSAWA, KOMPAS.com - Hampir 60.000 penonton menyesaki Stadion Nasional Warsawa, Polandia, saat Piala Eropa dimulai, Jumat (8/6). Sekitar 150 juta orang menonton lewat layar kaca. Inilah pesta dunia yang dipersembahkan Eropa yang dirundung krisis.

Pesta sepak bola Piala Eropa 2012 setidaknya membuat masyarakat Eropa sejenak melupakan penat dan beratnya beban serta ketegangan hidup. Itulah kesan yang diperoleh dua wartawan Kompas MH Samsul Hadi di Warsawa, Polandia, dan Agung Setyahadi di Lviv, Ukraina.

Benua itu dililit krisis utang berkepanjangan dalam empat tahun terakhir. Belakangan ini politik juga menegang, menekan salah satu tuan rumah Piala Eropa, Ukraina. Isu hak asasi manusia memang tak mungkin dikekang. Penahanan terhadap pemimpin oposisi Yulia Tymoshenko membuat para politisi sejumlah negara Eropa meradang.

Meski demikian, hingga empat pekan ke depan, berita dari ”Benua Biru” tidak lagi didominasi kisruh pemerintahan, naiknya jumlah pengangguran, atau mogok massal para pekerja yang menuntut kenaikan upah.

Faktanya, paling sedikit delapan dari 16 negara peserta Piala Eropa 2012 terimbas hantaman krisis. Mulai dari pemerintah yang terpaksa melempar handuk dan meminta bantuan dana talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF) hingga pemerintahan yang tumbang karena disisihkan rakyat.

Yunani, yang semalam membuka pesta Piala Eropa melawan tuan rumah Polandia, adalah negara pertama yang menyerah terhadap krisis dan terpaksa meminta bantuan IMF, dua tahun silam. Pemerintahan Perdana Menteri George Papandreou tumbang setahun kemudian dan hingga kini negeri juara Piala Eropa 2004 itu belum berhasil menyusun pemerintahan.

Irlandia yang berada di Grup C dan Portugal yang tergabung di Grup B menyusul meminta bantuan IMF pada November 2010 dan Mei 2011. PM Irlandia Brian Cowen dan PM Portugal Jose Socrates pun lengser.

Juara bertahan Spanyol di Grup C juga tak luput jadi sorotan. Pemerintahan Jose Luis Rodriguez Zapatero di Spanyol tumbang akhir 2011. Penggantinya, Mariano Rajoy, kini berjuang keras mengatasi bangkrutnya sejumlah bank dan pengangguran yang mencapai seperempat angkatan kerja.

Empat negara papan atas di kancah sepak bola Eropa, yakni Belanda, Italia, Perancis, dan Inggris, juga tak luput dari krisis. Rakyat yang geram terhadap kinerja pemerintah menghukum partai penguasa dalam pemilu. PM Italia yang bos klub AC Milan, Silvio Berlusconi; PM Belanda Mark Rutte yang belum dua tahun memerintah; PM Inggris Gordon Brown; dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang flamboyan, semuanya tersingkir.

Di tengah pahitnya krisis itu, 23 pemain terbaik dari setiap negara menguji batas kemampuan mereka. Mereka tahu, permainan yang menghibur, apalagi kemenangan, akan menjadi pelipur lara bagi rakyat negeri mereka.

Siasati krisis

Krisis ekonomi yang melanda Eropa itu disiasati oleh para suporter sepak bola, semisal dari Jerman dan Ceko, dengan menempuh jalur darat (alih-alih menumpang pesawat terbang) menuju Ukraina dan Polandia. Mereka menghemat pengeluaran dengan menempuh perjalanan yang lebih lama.

Tempat menginap juga disiasati dengan menumpang bayar di rumah-rumah atau apartemen di pinggir kota. Charlie, suporter dari Muenchen, Jerman, berangkat bersama dua saudaranya ke Lviv, Ukraina, menggunakan mobil pribadi. Mereka menempuh jarak sekitar 1.000 kilometer dalam 15 jam. Perjalanan ini lebih murah karena mereka membawa bekal dari rumah.

”Kami pengemudi-pengemudi gila. Kami datang ke sini untuk menyaksikan Jerman bertanding,” ujar Charlie. Ia juga menginap di rumah temannya yang ada di Ukraina karena tidak mampu membayar tarif hotel dan penginapan di Lviv yang melambung 100-300 persen. Tarif normal hotel yang sekitar 100 dollar AS melonjak 250 dollar AS-300 dollar AS per malam.

”Kami tidak kuat membayar penginapan yang sangat mahal. Kami bisa menginap di rumah teman yang tinggal di sini. Lebih murah,” ujar Charlie.

Dima, suporter Jerman dari Berlin, juga menginap di rumah Igor, temannya, warga Ukraina. Dima naik bus selama 14 jam dengan biaya sekitar 100 euro (sekitar Rp 1.170.000). Ia menghemat 300 euro dibandingkan menumpang pesawat terbang yang waktu tempuhnya cuma 2,5 jam. Dima menekan biaya sebesar mungkin supaya bisa menyaksikan semua pertandingan Jerman di Lviv, melawan Portugal dan Denmark.

Sementara Pedro dan sesama suporter Portugal memilih menggunakan pesawat terbang ke Ukraina karena jalur darat terlalu jauh. Mereka menabung sejak dua tahun lalu.

Krisis ekonomi yang melanda Eropa ternyata tidak mengurangi minat para penggila bola untuk menonton pertandingan Piala Eropa. Salah satu indikatornya adalah tingkat hunian hotel di Lviv yang mencapai 85 persen.

Berdasarkan data media center Lviv yang dikutip oleh harian Kyiv Post, tingkat hunian hotel di Lviv pada 9-18 Juni mencapai 85 persen dan losmen mencapai 76 persen. Di antara tanggal itu, tiga pertandingan digelar di Lviv, yaitu Jerman melawan Portugal, Denmark versus Portugal, dan Denmark versus Jerman.

Kamar di 11 hotel di Lviv sudah terjual habis, empat di antaranya sudah habis dipesan pekan lalu. Lviv memiliki 40 losmen yang mampu menampung 1.200 orang. Pasar hotel di Lviv mencakup total 2.800 kamar.

Presiden Ukraina Viktor Yanukovich yang mencoba meredam tekanan politik banyak negara Uni Eropa pun menyerukan rakyatnya untuk menjadi tuan rumah yang ramah. ”Dalam hari-hari ke depan, dunia akan memperhatikan negara kita. Saya mendorong Anda untuk memperlihatkan keramahan, ketulusan, dan persahabatan dari bangsa Ukraina,” katanya.

Namun, dari London, para menteri dari pemerintah Kerajaan Inggris berencana memboikot Piala Eropa dengan alasan hak asasi manusia. Hanya saja, boikot itu berlaku pada gelaran babak penyisihan grup.

Di babak berikut, Pemerintah Inggris tetap berniat mengirim wakil. Namun, semua rencana itu tetap bergantung pada jadwal kegiatan setiap pejabat. ”Mereka disibukkan dengan persiapan Olimpiade London 2012 dan keprihatinan mendalam terhadap pelaksanaan hukum dan keadilan yang pilih-pilih di Ukraina,” ujar pejabat di Kementerian Luar Negeri Inggris. (AFP/Reuters/Was/YNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar