WARSAWA, KOMPAS.com - Hampir 60.000 penonton
menyesaki Stadion Nasional Warsawa, Polandia, saat Piala Eropa dimulai,
Jumat (8/6). Sekitar 150 juta orang menonton lewat layar kaca. Inilah
pesta dunia yang dipersembahkan Eropa yang dirundung krisis.
Pesta
sepak bola Piala Eropa 2012 setidaknya membuat masyarakat Eropa sejenak
melupakan penat dan beratnya beban serta ketegangan hidup. Itulah kesan
yang diperoleh dua wartawan Kompas MH Samsul Hadi di Warsawa, Polandia, dan Agung Setyahadi di Lviv, Ukraina.
Benua
itu dililit krisis utang berkepanjangan dalam empat tahun terakhir.
Belakangan ini politik juga menegang, menekan salah satu tuan rumah
Piala Eropa, Ukraina. Isu hak asasi manusia memang tak mungkin dikekang.
Penahanan terhadap pemimpin oposisi Yulia Tymoshenko membuat para
politisi sejumlah negara Eropa meradang.
Meski demikian, hingga
empat pekan ke depan, berita dari ”Benua Biru” tidak lagi didominasi
kisruh pemerintahan, naiknya jumlah pengangguran, atau mogok massal para
pekerja yang menuntut kenaikan upah.
Faktanya, paling sedikit
delapan dari 16 negara peserta Piala Eropa 2012 terimbas hantaman
krisis. Mulai dari pemerintah yang terpaksa melempar handuk dan meminta
bantuan dana talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional
(IMF) hingga pemerintahan yang tumbang karena disisihkan rakyat.
Yunani,
yang semalam membuka pesta Piala Eropa melawan tuan rumah Polandia,
adalah negara pertama yang menyerah terhadap krisis dan terpaksa meminta
bantuan IMF, dua tahun silam. Pemerintahan Perdana Menteri George
Papandreou tumbang setahun kemudian dan hingga kini negeri juara Piala
Eropa 2004 itu belum berhasil menyusun pemerintahan.
Irlandia
yang berada di Grup C dan Portugal yang tergabung di Grup B menyusul
meminta bantuan IMF pada November 2010 dan Mei 2011. PM Irlandia Brian
Cowen dan PM Portugal Jose Socrates pun lengser.
Juara bertahan
Spanyol di Grup C juga tak luput jadi sorotan. Pemerintahan Jose Luis
Rodriguez Zapatero di Spanyol tumbang akhir 2011. Penggantinya, Mariano
Rajoy, kini berjuang keras mengatasi bangkrutnya sejumlah bank dan
pengangguran yang mencapai seperempat angkatan kerja.
Empat
negara papan atas di kancah sepak bola Eropa, yakni Belanda, Italia,
Perancis, dan Inggris, juga tak luput dari krisis. Rakyat yang geram
terhadap kinerja pemerintah menghukum partai penguasa dalam pemilu. PM
Italia yang bos klub AC Milan, Silvio Berlusconi; PM Belanda Mark Rutte
yang belum dua tahun memerintah; PM Inggris Gordon Brown; dan Presiden
Perancis Nicolas Sarkozy yang flamboyan, semuanya tersingkir.
Di
tengah pahitnya krisis itu, 23 pemain terbaik dari setiap negara menguji
batas kemampuan mereka. Mereka tahu, permainan yang menghibur, apalagi
kemenangan, akan menjadi pelipur lara bagi rakyat negeri mereka.
Siasati krisis
Krisis
ekonomi yang melanda Eropa itu disiasati oleh para suporter sepak bola,
semisal dari Jerman dan Ceko, dengan menempuh jalur darat (alih-alih
menumpang pesawat terbang) menuju Ukraina dan Polandia. Mereka menghemat
pengeluaran dengan menempuh perjalanan yang lebih lama.
Tempat
menginap juga disiasati dengan menumpang bayar di rumah-rumah atau
apartemen di pinggir kota. Charlie, suporter dari Muenchen, Jerman,
berangkat bersama dua saudaranya ke Lviv, Ukraina, menggunakan mobil
pribadi. Mereka menempuh jarak sekitar 1.000 kilometer dalam 15 jam.
Perjalanan ini lebih murah karena mereka membawa bekal dari rumah.
”Kami
pengemudi-pengemudi gila. Kami datang ke sini untuk menyaksikan Jerman
bertanding,” ujar Charlie. Ia juga menginap di rumah temannya yang ada
di Ukraina karena tidak mampu membayar tarif hotel dan penginapan di
Lviv yang melambung 100-300 persen. Tarif normal hotel yang sekitar 100
dollar AS melonjak 250 dollar AS-300 dollar AS per malam.
”Kami
tidak kuat membayar penginapan yang sangat mahal. Kami bisa menginap di
rumah teman yang tinggal di sini. Lebih murah,” ujar Charlie.
Dima,
suporter Jerman dari Berlin, juga menginap di rumah Igor, temannya,
warga Ukraina. Dima naik bus selama 14 jam dengan biaya sekitar 100 euro
(sekitar Rp 1.170.000). Ia menghemat 300 euro dibandingkan menumpang
pesawat terbang yang waktu tempuhnya cuma 2,5 jam. Dima menekan biaya
sebesar mungkin supaya bisa menyaksikan semua pertandingan Jerman di
Lviv, melawan Portugal dan Denmark.
Sementara Pedro dan sesama
suporter Portugal memilih menggunakan pesawat terbang ke Ukraina karena
jalur darat terlalu jauh. Mereka menabung sejak dua tahun lalu.
Krisis
ekonomi yang melanda Eropa ternyata tidak mengurangi minat para
penggila bola untuk menonton pertandingan Piala Eropa. Salah satu
indikatornya adalah tingkat hunian hotel di Lviv yang mencapai 85
persen.
Berdasarkan data media center Lviv yang dikutip oleh harian Kyiv Post,
tingkat hunian hotel di Lviv pada 9-18 Juni mencapai 85 persen dan
losmen mencapai 76 persen. Di antara tanggal itu, tiga pertandingan
digelar di Lviv, yaitu Jerman melawan Portugal, Denmark versus Portugal,
dan Denmark versus Jerman.
Kamar di 11 hotel di Lviv sudah
terjual habis, empat di antaranya sudah habis dipesan pekan lalu. Lviv
memiliki 40 losmen yang mampu menampung 1.200 orang. Pasar hotel di Lviv
mencakup total 2.800 kamar.
Presiden Ukraina Viktor Yanukovich
yang mencoba meredam tekanan politik banyak negara Uni Eropa pun
menyerukan rakyatnya untuk menjadi tuan rumah yang ramah. ”Dalam
hari-hari ke depan, dunia akan memperhatikan negara kita. Saya mendorong
Anda untuk memperlihatkan keramahan, ketulusan, dan persahabatan dari
bangsa Ukraina,” katanya.
Namun, dari London, para menteri dari
pemerintah Kerajaan Inggris berencana memboikot Piala Eropa dengan
alasan hak asasi manusia. Hanya saja, boikot itu berlaku pada gelaran
babak penyisihan grup.
Di babak berikut, Pemerintah Inggris tetap
berniat mengirim wakil. Namun, semua rencana itu tetap bergantung pada
jadwal kegiatan setiap pejabat. ”Mereka disibukkan dengan persiapan
Olimpiade London 2012 dan keprihatinan mendalam terhadap pelaksanaan
hukum dan keadilan yang pilih-pilih di Ukraina,” ujar pejabat di
Kementerian Luar Negeri Inggris. (AFP/Reuters/Was/YNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar